PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM SEKTOR INFORMAL
oleh: Zahid
Ahmad Faiz
Secara etimologis, pemberdayaan berasal
dari kata “Daya” yang berarti kekuatan atau mengembangkan kemampuan.
Pemberdayaan dapat diartikan sebagai suatu proses berdaya, atau proses untuk
memperoleh daya/kekuatan, kemampuan dari yang kurang atau belum berdaya.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI), pemberdayaan adalah proses, cara,
perbuatan membuat berdaya, yaitu kemampuan untuk melakukan sesuatu atau
kemampuan bertindak berupa akal, ikhtiar atau upaya. Sedangkan menurut Prijono
dan Pranaka, pemberdayaan mengadung dua arti pengertian yang pertama
adalah to give power or authority, pengertian kedua to give abillty
to or enable. Pemaknaan pengertian yang pertama meliputi memberikan
kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas kepada pihak yang
kurang/belum berdaya. Di sisi lain pemaknaan pengertian kedua adalah memberikan
kemapuan atau keberdayaan serta memberikan peluang kepada pihak lain untuk
melakukan sesuatu (Sutyana, 2010).
Bicara tentang pemberdayaan kita tidak
akan terlepas dengan apa yang dinamakan dengan masyarakat karena objek dari
pemberdayaan itu sendiri adalah masyarakat. Dalam hal ini masyarakat yang
dimaksud adalah masyarkat yang kurang berdaya atau masih tergantung dengan apa yang ada pada
lingkungan tersebut dan belum mandiri dalam sektor kehidupannya. Dari sinilah
masyarakat perlu diubah tata kelola kehidupannya dari mereka yang tidak mampu
dan tidak tahu menjadi masyarakat yang berdaya dan lebih sejahtera.
Sehingga masyarakat akan memiliki
kompetensi dan dapat keluar dari sistem yang melingkarinya. Maka munculah yang
dinamakan dengan Pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan disini mucul sebagai solusi
sekaligus sebagai motivasi bagi masyarakat untuk dapat merubah tata kelola
kehidupannya agar menjadi sejahtera dan keluar dari sistem-sitem yang menindas
masyarakat itu sendiri.
Daerah
Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu propinsi dari 33 propinsi di
Indonesia, memiliki 4 kabupaten dan satu kota madya. Yogyakarta terkenal
sebagai kota parawisata, kota pelajar dan menyimpan berbagai
kebudayaan-kebudayaan jawa. Sebagai kota parawisata tentunya pemerintah kota
yogyakarta berupaya semaksimal mungkin untuk membentuk kota yogya yang bersih
dan nyaman. Usaha yang dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan kota
dalam bentuk menertibkan pedagang-pedagang kaki lima yang berjualan di
tempat-tempat publik, yang hal tersebut katanya mengganggu lalu lintas
perjalanan dan juga mengurangi keindahan kota Yogyakarta sebagai kota
parawisata.
Tahun
2017, Badan Pusat Statistik merilis jumlah angka pekerja informal sebanyak
72.672.192 jiwa atau 59,4% dari total seluruh pekerja di Indonesia. Di sektor
ini, status pekerjaan informal meliputi: (1) berusaha sendiri, (2) berusaha
dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar, (3) pekerja bebas di pertanian,
(4) pekerja bebas di non pertanian, dan (5) pekerja keluarga/tak dibayar.
Banyaknya jumlah angka pekerja di sektor informal tersebut berbanding terbalik
dengan jumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur guna melindungi,
menghormati dan memenuhi hak mendasar mereka sebagai pekerja baik pada level
nasional maupun pada level regional dalam lingkup Yogyakarta.
Pada tahun 2019 sudah tercatat puluah kali
pemeritah kota jogja melakukan penggusuran terhadap pedagang kaki lima,
contohnya saja akhir tahun 2019 kemarin, Penertiban
Pedagang Kaki Lima (PKL) dilakukan di Jalan Berigjen
Katamso, Kecamatan Gondomanan, Yogyakarta. Pro
dan kontra dalam pelaksanaan ini muncul ketika sebagian pedagang menolak adanya
relokasi dengan alasan akan mengurangi penghasilan. Sedangkan Forum LSM yang
selama ini menjadi tim advokasi menolak relokasi karena pihak Pemerintah Kota
dalam melakukan komunikasi dengan PKL tidak maksimal dan tidak mengedepankan
azas keadilan dan partisipasi. Bahkan Pemerintah kota tidak punya itikad baik
untuk mendengarkan gagasan penataan yang ditawarkan oleh para pedagang kaki
lima. Hingga belum ada titik temu Sehingga pada saat penggusuran terjadi
kericuhan antara masyarakat dan aparat yang bertugas.
Sektor informal dianggap banyak mengundang masalah
didaerah perkotaan, karena sektor informal terutama yang beroperasi ditempat
strategis di kota dapat mengurangi keindahan di kota dan diduga sebagai sebagai
penyebab kemacetan lalu lintas dan menurunnya lingkungan hidup dikota. Karena
itu ada pemerintah kota yang telah mengambil kebijaksanaan membatasi ruang
gerak sektor informal. Kebijakan yang perlu diambil dalam menangani sektor
informal, antara lain menyediakan kredit, pendidikan dan latihan keterampilan,
pengembangan sumber daya dan teknologi, dan mengubah sikap pemerintah agar
mendukung pertumbuhan sektor informal.
Sehingga pemerintah harus mendukung dan memberikan
bantuan pada sektor informal tersebut karena secara tidak langsung sektor
informal ini memiliki beberapa keunggulan yang banyak yaitu sektor informal itu
akan memeratakan distribusi hasil-hasil pembangunan bagi penduduk miskin yang
kebanyakan memang terpusat di sektor informal, sektor informal menciptakan
permintaan atas tenaga kerja semi terlatih dan kurang ahli yang jumlahnya
sangat absolute maupun relative (presentase terhadap total angkatan kerja)
terus meningkat dan yang tidak mungkin terserap oleh sektor formal yang hanya
mau menerima tenaga kerja berkeahlian,
dan sektor informal juga mampu
memberikan latihan kerja dan magang dengan biaya yang sangat murah apabila di
bandingkan biaya yang di tuntut oleh lembaga-lembaga dalam sektor formal,
sehingga sektor informal dapat memainkan peranan penting dalam rangka formasi
atau pembentukan dan pembinaan sumber daya manusia.
Dari argumen dan ulasan data tersebut seharusnya
pemerintah dapat memanfaat sektor informal untuk melakukan pemberdayaan
terhadap pedagang kaki lima sehingga Program pembederdayaan pedagang kaki lima ini
sangat strategis perlu dilakukan, sebagai contoh ketika para PKL diberikan dengan
adanya bantuan dana masa transisi dan massa adaptasi. Bantuan ini juga sebagai
uang untuk berjaga-jaga ketika barang dagangan tidak laku, kemudian pemerintah
juga perlu mendukung dengan mempromosikan sektor informal tersebut agar mereka
juga merasa dimudahkan dan orang lain juga dapat membuka peluang untuk bergabung
dengan sektor infiormal tersebut sehingga tidak ada sekat antara pemerintah dan
sector informal. Pedagang kaki lima merasa sejahtera dan pemerintah akan
mendapatkan keuntungan dengan pengelolaan tata kota yang baik. Maka untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat terutama pada para pedagang kaki lima lebih
terarah dan cenderung memperhatikan dampak yang ada terhadap masyarakat dengan berbagai kemudahan dalam
beraktifitas, dan kebijakan itu bukan merupakan proyek individu semata tetapi
untuk kepentingan umum juga.
Komentar
Posting Komentar